...
“and.. I miss my Dad thousand times as much as I miss you..”
lalu Adam terdiam.
Saat ini aku sangat ingin langsung menggenggam tangannya,
dan memeluknya erat, dalam diam. Paling tidak Adam tau ada yang bersedia
mendengarkan karena sadar berkata apapun tidak dapat mengubah keadaan.
“don’t be such a cry baby. You have your boarding pass, and
it’s a long long road you have to face in front of you.” Akhirnya aku berkata,
mengucap keheningan saat ini. Adam
mengangkat kepala yang sedari tadi kosong menatap setengah cangkir latte di hadapannya, dan tersenyum
lebar, sangat lebar hingga gigi-gigi putihnya yang rapih terlihat begitu
cemerlang, seperti senyum anak kecil yang kegirangan di beri gulali padahal ibu
melarangnya makan permen terlalu banyak. Senyum itu tidak pernah hilang, sejak
3 tahun yang lalu aku mengenalnya.
Aku mengecek jam tanganku, 30 menit lagi pesawatku boarding,
15 menit lebih awal dari jadwal keberangkatannya. Adam mengangkat tangan
memberi kode kepada waiter.
“makan yuk, laper nih. Kamu belum makan kan?” ujarnya
menawarkan sambil melihat-lihat menu. Sambil pura-pura memperhatikan jam
tanganku “30 menit lagi aku boarding,
aku temenin makan aja ya.”
“yah aku ga makan juga deh. Tapi penerbangan kamu kan cukup
lama, dan lagi makanan dipesawat kapan si ada yang enak?” ujarnya hampir menutup buku menu, “2 tuna
sandwich, ga pake lama ya mbak. Ibu didepan saya sebentar lagi boarding.”
“lah?” kataku melongo. “udah, a slice of sandwich wont
bother u to board the aircraft on time. Late and light lunch that I insist.”
Katanya sebelum aku sempat melanjutkan.
Tidak cukup 10 menit 2 porsi sandwich tuna tiba di meja
kami. Dia terlihat lahap, mungkin dia sedang sangat lapar saat itu. 5 menit
sebelum boarding announcer sudah memberitahukan jadwal boarding penerbanganku,
tapi kami masih asik mengobrol hal-hal ringan tanpa sadar waktu boarding hampir
terlewat. Ketika aku sadar panggilan terakhir telah diumumkan, Adam bergegas
mengeluarkan 3 lembar rupiah dan memanggil waiter “ambil aja sisanya mbak”
katanya yang samar-samar terdengar olehku yang sudah lebih dulu menghambur
keluar menuju Gate 1.
Aku berlari-lari kecil sambil tertawa-tawa melihat dia
menyusul dibelakang. Sampai pada pintu masuk ruang tunggu dimana petugas
bandara akan mengecek semua boarding pass penumpang, aku terengah-engah dan
membetulkan nafas sedikit. Dia tepat dibelakangku tersenyum, mengulurkan
tangan, “have a safe flight, Nora. Sukses di tempat baru.”
Sebelum aku menyambut uluran tangannya aku sempat terdiam 2
detik dan akhirnya membalas uluran tangannya, kujabat erat. Ingin sekali aku
memeluknya saat itu, barangkali akan menjadi pertemuan perpisahan kami yang
terakhir untuk selanjutnya menjalani hidup masing-masing tanpa harus saling
merasa bersalah. “thanks, Dam. You’ll be a man as great as your father. Have a safe flight to you too.” Aku tersenyum,
melepaskan genggaman tangannya dan berlalu. Setelah melewati pemeriksaan
petugas bandara, aku menoleh sebentar padanya dan melambaikan tangan tanda
selamat tinggal.
Aku berjalan menuju pintu pesawat melewati belalai yang
menghubungkan gate dan pintu
pesawat. Buru-buru kuraih ponselku dan mencari nama Adam di nomor kontakku, aku
ingin segera menekan tombol dial tapi
perasaanku menolak dan memilih untuk sekedar mengirimkan pesan singkat. Kumainkan
playlist yang sejak 3 tahun terakhir
belum berganti pilihan lagu-lagunya, memilih salah satu lagu dan meng-capture properties-nya.
Adam sedang berjalan menuju ruang tunggu tempat pesawat yang
akan ditumpanginya berangkat ketika ada satu getar dari ponselnya.
“I missed you as much as i played this song for this last 3
years. You can’t even count how many times I listen to my playlist each day and
how many times this song hit my memories of you, and it still until I don’t
even know when. Cupid must have hit the wrong target, don’t they?”
Beberapa menit setelah pesan singkatku terkirim, aku sudah
duduk tenang di seat 7B, aisle-my
favorite seat, mendengarkan lantunan What
a Difference Day Made-nya Jamie Cullum yang terputar secara acak, dan
ponselku bergetar tanda telepon masuk. Adam menghubungiku.
Jantungku berdegup lebih cepat dari biasanya, aku tidak dapat menebak apa yang akan dikatakan Adam
soal pesan singkatku barusan. Mungkin aku terdengar sangat murahan, tapi aku memilih
untuk jujur pada perasaanku saat itu.
Pramugari-pramugari berlalu lalang membetulkan muatan kabin
atas pesawat, ketika melihatku memegang ponsel yang sedang berbunyi, sempat
menegurku untuk mematikan semua alat komunikasi yang kutawar dengan mengangkat
telepon itu sebentar saja. Sebab setiba di Dubai nanti, aku khawatir Adam akan
kesulitan menghubungiku lagi (jika dia berminat menghubungi kembali tentu
saja). Pramugari itu dengan sopan mengangguk.
“Halo.” Kataku
singkat dan tenang. “Hey, I love you
today, more than yesterday, aandd.. not as much as tomorrow.” Katanya
singkat tanpa ragu-ragu melafalkan kalimat yang pernah dikatakan pasangan selebritis
muda yang baru saja menikah ketika menjadi bintang tamu pada salah satu acara
TV yang kami tonton tanpa sengaja diruang tunggu kosanku 3 tahun yang lalu. Aku
tersenyum girang, “hey, pramugari lagi nungguin aku switch off telepon.Tapi kamu jago banget niruin
Vino Bastian.” Adam tertawa. “text me
asap as you landed, okay.” Klik.
...
#randomlyplaying If You Ever Come Back - The Script
#randomlyplaying If You Ever Come Back - The Script
Komentar
Posting Komentar